Definisi Gadai
Dalam bahasa Arab, gadai disebut rahn (رَهْن), yang secara bahasa berarti sesuatu yang tetap atau tertahan. Hal ini seperti dalam firman Allah Subhanahu wata’ala :
كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“Tiap-tiap manusia terikat dengan apayang dikerjakannya.” (ath-Thur : 21)
Adapun dalam ilmu fikih, rahn adalah istilah bagi “pemberian harta sebagai jaminan atas suatu utang.” Barang atau harta yang dijadikan gadai juga disebut rahn. (Fathul Bari 5/140, al-Mughni 6/443)
Hikmah dan Tujuan Gadai
Tujuan gadai adalah untuk melunasi utang
dengan nilainya apabila penanggungnya tidak dapat membayarnya. Adapun
hikmah adanya gadai adalah menjaga harta kekayaan dan demi keamanan dari
hilang (ditipu). Ini termasuk rahmat Allah Subhanahu wata’ala
kepada para hamba-Nya, yang membimbing mereka kepada sesuatu yang
mengandung kebaikan bagi mereka. (lihat al-Mughni 6/443 dan
al-Mulakhasal-Fiqhi 2/53)
Hukum Gadai
Hukum gadai adalah jaiz atau boleh, berdasarkan al-Qur’an, al-Hadits, ijma’, dan qiyas. Dalam al-Qur’an, Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ
وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ ۖ فَإِنْ أَمِنَ
بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ
اللَّهَ رَبَّهُ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ ۚ وَمَن يَكْتُمْهَا
فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Dan jika kamu dalam perjalanan (dan
bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang
penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)1.
Akan tetapi, jika sebagian kamu memercayai sebagian yang lain,
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya; dan janganlah kamu (para
saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa
kalbunya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Baqarah: 283)
Adapun dalam al-Hadits, Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
اشْتَرَى رَسُولُ اللهِ -صل الله عليه وسلم- مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا بِنَسِيئَةٍ، وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ
“Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam
membeli makanan dari seorang Yahudi dengan tempo, lalu beliau
menjadikan baju besinya sebagai gadainya.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan
Muslim)
Adapun ijma’, Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan bahwa kaum muslimin secara umum sepakat tentang bolehnya gadai. (al-Mughni, 6/444)
Adapun qiyas, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
berkata, “… Karena gadai adalah sesuatu yang dibutuhkan, baik kebutuhan
penggadai/murtahin maupun pegadai/rahin, maka qiyas dan pandangan yang
benar menuntut adanya gadai.” (Mudzakkiratul Fiqh)
Dalam Safar Saja atau Boleh Saat Mukim?
Gadai diperbolehkan dalam keadaan mukim
sebagaimana bolehnya dalam keadaan safar, walaupun konteks ayat tersebut
di atas terkait dengan safar. Hal ini tidak lain karena gadai lebih
dibutuhkan dalam keadaan safar karena biasanya saat semacam itu
seseorang sulit mendapatkan saksi atau penulis sehingga membutuhkan
jaminan berupa barang gadaian. Hal ini tidak berarti gadai tidak
dibolehkan di saat mukim apabila mereka memang membutuhkannya.
Dalam Tafsir as-Sa’di disebutkan, “Karena tujuan gadai adalah untuk menjamin kepercayaan, hal itu diperbolehkan baik saat mukim maupun safar. Allah Subhanahu wata’ala
hanya menyebutkan safar (dalam ayat) karena saat semacam itu biasanya
dibutuhkan gadai disebabkan tidak adanya penulis (perjanjian). Ini semua
bilamana pemilik hak tersebut menyukai untuk mencari kepercayaan atas
hartanya. Namun, ketika pemilik harta merasa aman terhadap orang yang
berutang dan menyukai untuk bertransaksi dengannya tanpa gadai,
hendaknya yang punya tanggungan menunaikan utangnya secara utuh tanpa
menzalimi atau mengurangi haknya. ‘Danbertakwalahkepada Allah, Rabb-Nya’
dalam hal menunaikan hak dan membalas orang yang telah berprasangka
baik kepadanya dengan kebaikan pula.”
Perbuatan Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam
membeli gandum dari orang Yahudi dengan tempo lalu memberinya baju besi
beliau sebagai gadai juga menunjukkan bolehnya gadai dalam keadaan
mukim, karena saat itu beliau berada di Madinah.
Istilah-Istilah Terkait Gadai
Dalam proses pergadaian ada beberapa
istilah yang harus kita ketahui terlebih dahulu, karena istilah-istilah
tersebut akan kerap terulang. Selain itu, istilah-istilah tersebut
perlu dipahami dengan tepat agar kita dapat memahami masalah dengan
benar. Di antara istilah-istilah tersebut adalah:
Menggadai : menerima
barang sebagai tanggungan uang yang dipinjamkan kepada pemilik barang
tersebut. Contoh, “Siapa yang menggadai sawahmu?” Dalam ungkapan bahasa
Arab, irtahana (اِرْتَهَنَ)
Menggadaikan :
menyerahkan barang sebagai tanggungan utang. Contoh, “Ia menggadaikan
gelang dan kalung istrinya untuk berjudi.” Dalam ungkapan bahasa Arab, arhana (اَرْهَنَ)
Bergadai : meminjam
uang dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan. Contoh, “Ia terpaksa
bergadai untuk membayar kontrak rumahnya.” Dalam ungkapan bahasa Arab,
rahana (رَهَنَ)
Pegadai : orang yang bergadai. Dalam ungkapan bahasa Arab, rahin (رَاهِنٌ)
Penggadai: orang yang menggadai. Contoh, “Para
penggadai itu makin menjerat petani.” Dalam bahasa Arab, murtahin (
مُرْتَهِنٌ ). (lihat dan al-Mu’jamul Wasith)
1. Yakni barang gadaian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar